Konsep Harta Dalam Islam
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang
dari 86 kali. Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an
menunjukkan adanya perhatian khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta
merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak dipisahkan dan selalu
diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam.
Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh,
memiliki, dan memanfaatkan harta sebagai sesuatu yang lazim, dan urgen. Harta
diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan manusia untuk memenuhi hajat hidupnya,
baik bersifat materi maupun non materi. Manusia berusaha sesuai dengan naluri
dan kecenderungan untuk mendapatkan harta.
Al-Qur’an memandang harta sebagai sarana bagi manusia
untuk mendekatkan diri kepada Khaliq-Nya, bukan tujuan utama yang dicari dalam
kehidupan. Dengan keberadaan harta, manusia diharapkan memiliki sikap derma
yang memperkokoh sifat kemanusiannya. Jika sikap derma ini berkembang, maka
akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia, baik di sisi Tuhan maupun
terhadap sesam manusia.
Oleh karena itu, harta dalam perspektif Al-Qur’an
sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam makalah ini baik dalam
hubungannya kepada sang Khaliq, maupun harta yang bersifat materi maupun non
materi.
B. PEMBAHASAN
- 1. Konsep Harta
Harta di dalam bahasa Arab disebut al-mal atau
jamaknya al-amwal (Munawir, 1984). Harta (al-mal) menurut kamus
Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma malaktahu min kulli syai
(segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan
sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum
syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau
pemberian (An-Nabhani, 1990). Di dalam Al Quran, kata al mal dengan
berbagai bentuknya disebut 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat.
Berdasarkan pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang digunakan
manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi)[1], seperti uang, tanah, kendaraan, rumah,
perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan
pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar
dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang
dititipkan kepada manusia.
Islam telah menggambarkan jalan yang suci dan lurus
bagi umatnya guna memperoleh harta yang halal dan baik. Dibawah ini disebutkan
beberapa cara meraih harta dalam islam:
- Meraih harta secara langsung dari hasil keringatnya sendiri.
Inilah yang sering di puji oleh islam, yaitu meraih
harta dengan jerih payah keringatnya sendiri selama hal itu berada pada koridor
yang telah ditentukan oleh Allah dan ini merupakan cara meraih harta yang
paling mulia dalam islam. Islam adalah satu-satunya agama samawi yang
memuliakan pekerjaan bahkan memposisikan pekerjaan sebagai ibadah disisi-Nya.
menjadikannya asas dari kebaikan didunia dan akhirat. Pada surat Al-Mulk
ayat:15 Allah memerintahkan kita untuk berjalan di muka bumi guna meraih
kehidupan:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah buat kamu,maka
berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Mu. Dan
hanya kepadaNya kamu kembali (setelah) dibangkitkan.”
Dalam surat Al-Muzammil ayat:20 Allah menjelaskan
bahwa mencari kehidupan dengan cara bekerja setara kedudukannya dengan berjihad
di jalan Allah:
“… dan orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah;dan orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.”
- Harta warisan
Dalam islam harta warisan adalah salah satu jalan yang
diperbolehkan guna meraih harta kekayaan. Ini disebut meraih harta secara tidak
langsung. Dalam artian si-penerima harta,tidaklah bersusah payah untuk
mendapatkannya. Karena itu adalah peninggalan dari oarng yang meninggal (ayah
atau keluarga dekatnya). Kepemilikan yaitu seseorang memiliki wewenangan untuk
bertindak atas apa yang ia miliki. Tetapi ketika hubungan yang mengikat antara
si-pemilik harta dengan harta yang ia miliki terputus disebabkan wafatnya
si-pemilik, maka harus ada pemilik baru yang menggantikan wewenang kepemilikan
harta yang ia miliki. Dan Islam menjadikan orang yang paling dekat hubungannya
dengan si-mayit yang menerima wewenang dalam kepemilikan harta si-mayit. Ini
sesuai dengan fitrah manusia. Dalam hal ini yang paling dekat adalah anak dan
keluarga terdekat.
- 2. Hakikat Hak Milik
- Allah adalah Pencipta dan Pemilik Harta yang Hakiki
Di dalam ayat-ayat Al-Quran, Allah Swt kadang-kadang
menisbatkan dalam ayat-ayat Al-Quran kepemilikan harta itu langsung kepada
Allah Swt.
“Dan berikanlah kepada mereka, sebagian harta Allah
yang telah Dia berikan kepada kalian.” (QS Al-Nur:33)
Allah Swt langsung menisbatkan (menyandarkan) harta
kepada diri-Nya yang berarti harta milik Allah. Hal ini dapat dilihat dari
penggunaan kata ‘min malillah’, yang bermakna Allah merupakan pemilik
mutlak atas seluruh harta yang ada di dunia.
- Harta adalah fasilitas bagi Kehidupan Manusia
Allah adalah pemilik mutlak harta yang kemudian
menganugrahkannya kepada umat manusia. Penganugrahan dari Allah ini dalam
rangka memberikan fasilitas bagi kelangsungan kehidupan manusia. Allah
memberikan segalanya kepada manusia termasuk harta kekayaan yang ada di muka
bumi ini. Seperti firman Allah:
“Dialah (Allah) yang telah menciptakan apa saja yang
ada di muka bumi buat kalian semuanya”. (QS Al Baqarah: 29)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”. (QS Al Hadid:7)
Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah
penguasaan oleh manusia yang bukan secara mutlak hak milik karena pada
hakikatnya pemilik sebenarnya ada pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu
haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah, oleh karena itu
manusia tidaklah boleh kikir dan boros. Allah memberikan kuasa kepada manusia
untuk mengusahakan, memanfaatkan dan melestarikan harta yang ada di bumi dengan
bijak serta memerintahkan manusia untuk senantiasa berupaya mencari harta agar
dapat memilikinya.
- Allah Menganugrahkan Kepemilikan Harta kepada Manusia.
Allah memberi manusia sebagian dari harta-Nya setelah
manusia tersebut berupaya mencari kekayaan, maka jadilah manusia disebut
“mempunyai” harta. Hal ini tampak dalam Al Quran yang menyebutkan harta sebagai
milik manusia:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
Padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah :
188)
Dalam ayat di atas memberikan pengertian bahwa harta
ketika dikaitkan dengan manusia berarti dimiliki oleh manusia sebatas hidup di
dunia, dan itu pun bila diperoleh dengan cara yang legal menurut syariah Islam.
Pelapangan rezeki yang diberikan Allah tidak berkaitan
dengan keimanan serta kekufuran seseorang, seperti firman Allah:
“Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi
siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal
kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan
(yang sedikit).” (QS Ar Ra’d : 26)
Dalam ayat ini, Allah melapangkan rezeki bagi sebagian
hambaNya dan menyempitkan bagi sebagian yang lain, sesuai dengan tuntutan
kebijaksanaanNya. Pelapangan dan penyempitan rezeki ini tidak berkaitan dengan
keimanan dan kekufuran. Barangkali Allah melapangkan bagi orang kafir dengan
maksud memperdayakan dan menyempitkan orang Mu’min dengan maksud menambah
pahalanya.
Allah melapangkan rezeki bagi siapa pun yang Dia
kehendaki di antara para hambaNya yang pandai mengumpulkan harta dan mempunyai
kemudahan dalam mendapatkan harta dimana hal ini tidak berhubungan dengan
keimanan dan kekufuran seseorang. Pada hakikatnya, kenikmatan dunia jika
dibandingkan dengan kenikmatan akhirat hanyalah sedikit dan akan cepat hilang.
Oleh sebab itu, mereka yang berharta di dunia tidak berhak untuk membanggakan
dan menyombongkan bagian dari dunia yang diberikan Allah kepada mereka.
- 3. Sikap Islam terhadap harta.
Dalam memandang dunia, Islam selalu bersikap
tengah-tangah dan seimbang. Islam tidak condong kepada paham yang menolak dunia
secara mutlak, yang menganggap dunia adalah sumber kejahatan yang harus
dilenyapkan, yaitu dengan menolak kawin dan melahirkan keturunan, berpaling
dari kesenangan kenikmatan dunia dari hal makanan, minuman, pakaian, perhiasan,
dan kesenangan- kesenangan lainnya serta menolak kerja keras untuk kepentingan
duniawi.
Dunia adalah jalan menuju tempat yang lebih kekal.
Karena dunia ini merupakan jalan, maka ia dibuat sedemikian rupa agar manusia
yang melewatinya merasa aman dan sampai ke tujuan dengan selamat. Misalnya,
kita dapat melihat ungkapan Al- Quran tentang umat Islam yang hidup moderat : ”
Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala di
akhirat”[2]
Dalam hadist dijelaskan “ Ketika datang seorang lelaki
kepada Rasulullah ia berkata, “ Ya Rasulullah, apa yang saya ucapkan tatkala
meminta kepada Allah?” Nabi menjawab, “Katakanlah, “Ya Allah, ampunilah
saya, selamatkan saya (dari penyakit dan malapetaka), karuniakan rizki bagiku.’
Sesungguhnya doa-doa ini menghimpun bagimu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ta’awwudz merupakan ungkapan meminta perlindungan dari Allah, baik dunia dan
akhirat. Dengan demikian, sikap jalan tengah merupakan prinsip dan syiar Islam,
seperti para sahabat yang hidup berlimpah harta untuk kepentingan agama tanpa
sedikitpun melupakan kehidupan dunia dan akhiratnya. Diantara sahabat merupakan
pedagang sukses dan orang kaya seperti Ibnu Affan dan Ibnu Auf dan ada juga
yang hidup sederhana dan zuhud seperti Abud Darda dan Salman.
- 4. Harta adalah Perhiasan Dunia.
Menurut Islam, harta adalah sarana untuk memperoleh
kebaikan. Miskin bukanlah sebagai symbol manusia bertaqwa sebagaimana pandangan
para penganut sufisme. Harta dalam konteks Al-Quran adalah suatu kebaikan
(khairun).
ü “ Dan sesungguhnya dia (manusia)
sangat bakhil karena cintanya kepada khairun (kebaikan).”[3] Pencinta kebaikan di sini meksudnya pencinta
harta. Ayat ini menerangklan bahwa cinta akan harta adalah tabiat manusia.
ü “ Mereka bertanya kepadamu tentang
apa yang mereka nafkahkan. Jawaban, ‘Apa saja khairun (harta) yang kamu
nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu, bapak, kaum kerabat, anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan …”[4]
ü “ Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
khairun (harta) yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf …” [5]
Pada ayat lainnya, Allah berfirman “ … Barangsiapa
yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangknya … ”[6]
Maka harta menurut Islam adalah perhiasan kehidupan
dunia dan pengokohannya seperti pilar.
Firman Allah : “ Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi amalam-amalan yang kekal lagi saleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”[7]
Dalam ayat ini, dengan harta tercapailah kemakmuran
dunia dari segi materi dan dengan anak tercapai kemakmuran dunia dari segi
kelangsungan hidup.
Allah mengaruniakan sebagian kekayaan dan kehidupan
nyaman yang diperuntukkan bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa sebagai
balasan atas amal saleh dan syukurnya. Sedangkan kehidupan yang sempit,
kemiskinan dan kelaparan sebagai hukuman yang dipercepat Allah bagi mereka yang
berpaling dari jalan Allah. Pentingnya harta menurut Islam tampak dari
kenyataan bahwa Allah menurunkan surat yang berisikan peraturan tentang
keuangan, cara penggunaannya, anjuran bermualah dengan cara menuliskannya dan
perlunya dua orang saksi.
- 5. Harta merupakan sesuatu yang dibanggakan
Harta merupakan sesuatu yang dibanggakan oleh manusia,
namun Al Quran memandang orang yang membanggakan harta sebagai orang yang
sombong dan tidak terhormat.
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena
takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS
Al Isra :31)
Dalam ayat di atas, kebanggaan manusia terhadap harta,
disejajarkan dengan kebanggaannya terhadap anak dan keturunan. Hal ini terjadi
karena harta yang diupayakan, dan di saat seseorang gagal dalam mendapatkan
harta terkadang dengan sikap frustasi seseorang dapat berbuat dosa dengan
melampiaskan kemiskinan dengan membunuh anaknya. Tindakan ini dikecam Allah
karena manusia tidak percaya bahwa sebenarnya kehidupan telah dijamin oleh
Allah.
- 6. Harta sebagai Ujian dan Cobaan
Harta bukan sebagai ukuran untuk menilai seseorang.
Mulia atau hinanya seseorang tidak dinilai dari harta yang dimilikinya. Harta
hanyalah kenikmatan dari Allah sebagai fitnah atau ujian untuk hambaNya apakah
dengan harta tersebut mereka akan bersyukur atau akan menjadi kufur.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”[8]
Allah menguji seseorang dengan perasaan takut terhadap
musuh, musibah, kelaparan dan kekurangan, serta kekurangan harta. Dalam ayat
ini memberi pengertian bahwa iman tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan
rizki yang banyak, kekuasaan dan tidak ada rasa takut. Bagi seseorang yang
mempunyai kesempurnan iman maka tiap musibah akan semakin membersihkan jiwanya.
“ Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar.”[9]
Harta merupakan poros penghidupan seseorang dan
sebagai sarana untuk mencapai segala keinginan dan hasrat duniawi. Untuk
mendapatkan harta manusia rela menanggung kesusahan dan kesulitan, namun hukum
syara menhgaruskan\ manusia untuk mencari harta halal dan mendorong manusia
untuk berhemat. Begitupula untuk memelihara harta, mereka bersedia susah payah
namun hawa nafsunya saling bertempur dengan hati nuraninya sendiri dimana
syariat mewajibkan penyisihan atas harta dimana ada hak-hak tertentu yang harus
dikeluarkan untuk zakat, nafkah lainnya, baik untuk anak dan istri, dll.
Sedangakan cinta kepada anak sering membawa orang
sanggup melakukan dosa dan perbuatan jahat demi dapat membiayai mereka, menjadi
kikir untuk berzakat, dan jika terjadi kesedihan atas anak mereka maka mereka
membenci Tuhan atau mementangnya. Fitnah yang ditimbulkan oleh anak lebih besar
dari pada yang ditimbulkan oleh harta, sehingga mereka mau saja mencari harta
haram dan mengambil harta orang lain secara batil demi anak.
Maka dalam ayat ini, seorang mukmin seharusnya dapat
memelihara diri dari kedua fitnah, yaitu pertama mendapatkan harta halal dan
menafkahkan pada jalan kebaikan. Dan juga menjaga fitnah anak dengan mendidik
mereka dengan sebaik-baiknya dan melatih mereka melaksanakan perintah agam.
” Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula)
anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun tetapi orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh
balasan yang berlipatganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka
aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).”[10]
Dalam ayat di atas Al Quran mengingatkan manusia bahwa
harta dan anak yang dibanggakan tidak menjamin dapat menyelamatkan dirinya dari
siksaan Tuhan. Terkadang manusia sifat kebanggaan yang berlebihan tersebut
dapat menjadikan sikap kikir serta mengumpulkan harta dengan sangat perhitungan
dan menjadikan kecintaan terhadap harta membabi buta. Akhirnya dengan pandangan
bahwa harta dapat membawa kesentosaan hidup maka nereka beranggapan harta
adalah segalanya dalam hidup. Dalam Al Quran tersirat bahwa hak pemilikan
manusia terhadap harta, hanya berfungsi untuk menunjukkan “pemilik” dan
“penanggung jawabnya”. Adapun fungsi harta dalam pendistribusian sesuai dengan
syariat adalah nilai yang patut diupayakan oleh pemilik harta.
Contohnya seperti golongan orang kaya dan angkuh
dengan hartanya dan tidak mau mengakui kerasulan Nabi Muhammad sedangkan mereka
tahu, misalnya Abu Jahal Ibnu Hisyam[11], Abu Lahab [12], Abu Ibnu Khalaf [13], Walid Ibnu Mughairah [14] dan juga Karun[15].
- 7. Harta sebagai Penyangga Stabilitas Sosial
Harta merupakan salah satu dari beberapa kekuatan
suatu bangsa dan penopang kebangkitan dan kemajuan. Namun, harta bisa
membahayakan suatu bangsa dan rakyatnya, juga membahayakan etika spiritual
mereka, jika mereka menjadikannya suatu prioritas dalam hidup ini. Islam
mengajarkan kepada pengikutnya bahwa harta bukan segala-galanya dalam kehidupan
ini, namun ironisnya kebanyakan manusia sangat berambisi dan memusatkan seluruh
perhatiannya untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan
sesuatu yang lebih besar yaitu kehidupan di akhirat.
Sesungguhnya etika yang mulia dan norma yang tinggi
dari iman, amal saleh dan akhlak mulia. Itulah kekayaan yang tidak pernah habis
dan pusaka-pusaka yang tidak akan sirna.oleh sebab itu Al Quran mengarahkan
ambisi dan angan-angan orang-orang mukmin kepadanya seperti firman Allah:
“ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di
sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” [16]
- 8. Ekonomi yang Baik Sarana Mencapai Tujuan yang Lebih Besar
Islam tidak melupakan unsur materi dan eksistensinya
dalam memakmurkan bumi dan meningkatkan taraf hidup manusia. Namun, Islam
selalu menekankan bahwa kehidupan berekonomi yang baik walaupun itu
merupakan target yang perlu dicapai dalam kehidupan dan bukanlah tujuan akhir.
Peran harta dianggap sangat penting seperti untuk berjihad[17] dengan memperjuangkan kemaslahatan yang
diperintahkan Allah, harta menopang manusia upaya untuk bertahan dalam kondisi
kehidupan yang wajar, dah harta dapat digunakan menjadi bagian penjagaan
kehidupan (contonya dalam Al Quran memberikan alasan bahwa kekuasaan laki laki
atas wanita di antaranya karena prestasinya dalam mencukupi kehidupan wanita),
dll.
Manusia diciptakan bukan untuk menjalankan aktivitas
ekonomi, tetapi ekonomi diciptakan untuk manusia. Manusia diciptakan untuk
Allah, akal dan hatinya hanya terfokus kepadaNya, sehingga jadwal kehidupannya
harus diatur sesuai dengan keridhaan Allah. Inilah arti ibadah yang dijadikan
Allah sebagai kewajiban manusia.
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka member Aku makan.
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi
Sangat Kokoh.” [18]
- 9. Manusia Mulia Bukan Karena Harta Tetapi Karena Amalan-amalannya
Seperti yang diuraikan di atas, manusia tidak mulia
karena harta dan kekayaannya atau kedudukannya tetapi karena hatinya bertaqwa
kepada Allah dan takut kepada Nya. Ia ikhlas berbuat meskipun tidak memiliki
apa-apa dan berpakaian compang-camping.
“ Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk luar
tetapi Allah melihat pada hati manusia.”[19]
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu
berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.
Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang
kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah
sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[20]
Dalam surat ini diketahui bahwa cirri-ciri orang yang
berbahagia adalah yang dapat menjalankan muamalah dengan Allah secara baik, dan
muamalah mereka dengan sesama makhluk. Allah dalam surat ini juga memberikan
keringanan kepada umatnya dari kesukaran menuju kemudahan, dimana Allah meminta
kepada manusia agar mengerjakan shalat malam dengan waktu sepertiga malam
sesuai yang dapat kamu kerjakan (karena manusia tidak sanggup menentukan waktu
secara pasti). Sehingga dengan keringanan yang diberikan, manusia dapat
mengerjakan shalat yang difardhukan sehingga hati mereka tidak lalai dan
perbuatan mereka tidak keluar dari apa yang ditentukan agama. Serta tunaikan
zakat yang wajib, dan memberikan pinjaman yang baik kepada Allah dengan jalan
menafkahkan harta di jalan kebaikan, untuk tiap individu dan golongan, sehingga
dapat membawa manfaat bagi mereka dalam kemajuan peradaban dan sosial.
Dan jaminan terhadap apa yang manusia kerjakan di dunia, merupakan sedekah atau
nafkah yang kamu belanjakan di jalan Allah (seperti shalat, puasa, haji,
dll) akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Sehingga menusia yang mulia
adalah manusia yang dapat membelanjakan hartanya di jalan Allah dan beribadah
sesuai yang diperintahkan Allah (amal-amalnya).
10. Pengharaman Menimbun Harta
Islam mengharamkan seseorang menimbun harta, Islam
mengancam mereka yang menimbuh dengan siksa yang sangat pedih kelak di hari
kiamat. Ancaman-ancaman itu tertera dalam nash-nash yang tegas dalam Al Quran,
dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya
sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani
benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, Pada hari
dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang
(akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” ( QS At Taubah : 34-35)
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya,
dan menjauhkannya dari peredaran. Penimbunan harta menimbulkan bahaya besar
terhadap perekonomian dan terhadap moral. Bahaya dari penimbunan ini dapat
menimbulkan hilangnya kesempatan kerja (identik dengan menimbulkan
pengangguran), dapat mengurangi pendapatan yang akhirnya akan mengurangi daya
beli masyarakat, produksi dan permintaan menjadi menurun, dan akhirnya dapat
menciptakan penurunan ekonomi dalam masyarakat.
11. Zakat Harta
Setelah Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang
bertaqwa itu mendirikan sholat, maka dilanjutkan dengan menceritakan bahwa
manusia harus menunaikan zakat dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir.
Seperti dalam firmanNya:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang
miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”[21]
Di antara mereka ada sebagian ada sebagian yang harus
dipisahkan oleh mereka yang dikhususkan untuk orang yang melarat meminta, atau
orang yang menahan diri dari meminta-minta, yang tidak memperoleh sesuatu yang
membuatnya tidak berhajat, namun tidak meminta kepada orang lain (disebut orang
yang mahrum atau tudak kebagian) dan tidak suka berbuat seperti itu
supaya diberi sedekah. Orang miskin yang tidak mendapat bagian maksudnya ialah
orang miskin yang tidak meminta-minta.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”[22]
Allah memerintahkan Rasul untuk mengambil harta
orang-orang yang tidak ikut perang, kaum mu’min yang kaya dan orang mu’min
lainnya. Zakat ini dimaksudkan untuk membersihkan manusia dari kekikiran dan
cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda dan tamak dan dapat mensucikan
yaitu menanamkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan
memperkembangkan harta benda mereka sehingga mereka patut mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan Rosul mendoakan bagi orang-orang yang mau
bersedekah dengan memohonkan ampun mereka untuk ketenangan hati mereka dan
Allah Maha Tahu taubat mereka serta keikhlasan mereka dalam menyerahkan sedekah
tersebut.
12. Etika Terhadap Harta
- Etika mencari harta
Kehidupan seorang muslim selalu dituntun untuk bekerja
(etos gerak). Al Quran mendorong muslim untuk bergerak dan berbuat sesuatu yang
baik secara aktif. Isalm yang dikonotasikan dengan “jalan”, memberikan gambaran
bahwa ajarannya adalah ajaran dinamis, bergerak, dan berubah menuju
kesempurnaan sesuai dengan yang divita-citakan. Orang Islam yang berjalan di
atas jalan tersebut lazimnya bergerak, dinamis, aktif serta tidak diam (pasif)
dalam suatu kondisi. Bagi orang yang mencari perubahan, Allah menjanjikan
kemudahan dan keleluasaan sebagai apresiasi atas usaha yang dilakukan oleh
manusia. Seperti pada QS An Nisa :100
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka
mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak.
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),
Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sehingga pada dasarnya Al Quran maupun al Sunah telah
memberikan berbagai apresiasi untuk mendorong manusia agar berbuat dan
berkreasi sesuai dengan profesi dan potensi masing-masing untuk mendapatkan
harta secara halal serta mendistribusikan.
- Etika mencari Harta
Anjuran dan suruhan Al Quran terhadap usaha dan
pemenuhan tanggung jawab, bukan sedekar parintah bekerja yang hanya
menghasilkan materi. Al Quran menghendaki agar kerja manusia diorientasikan
pada nilai-nilai suci, bukan sekedar materi secara unsich. Nilai suci
dari materi ditentukan oleh fungsi dan kegunaan untuk kemaslatan dalam memenuhi
hajat hidup manusia. Al Quran memberikan orientasi melalui tata cara dalam
mencari materi yang harus dipatuhi oleh manusia. Orientasi tersebut untuk
memberikan keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai
dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.keseimbangan
tersebut baik terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan,
maupun terhadap sesama manusia. Tata cara tersebut di antaranya adalah melarang
manusia bertransaksi yang tidak legal baik dalam perspektif yuridis maupun etis[23], penyempurnaan timbangan atau takaran dalam
transaksi[24], larangan bersistem raba[25], dan menekankan tanggung jawab.[26]
- C. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil
kesimpulan, bahwa harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam
kehidupan sehari-hari (duniawi)[27], seperti uang, tanah, kendaraan, rumah,
perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan
pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar
dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang
dititipkan kepada manusia. Oleh karena itu, di dalam Islam terdapat etika di
dalam memperoleh harta dengan bekerja. Dalam artian, terdapat keseimbangan
usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang
dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.keseimbangan tersebut baik
terhadap Tuhan,.
DAFTAR PUSTAKA
- Q
ardhawi ,Yusuf, Norma dan Etika Islam, Jakarta : Gema Insani Press,
1997.
-
Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,
2007.
-
At-Thariqi, Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam, Prinsip Dasar dan Tujuan, Magistra
Insani Press, 2004.
-
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Semarang : CV. Toha
Putra.
-
Munir, Abdul, Harta Dalam Perspektif Al Quran, Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006
———————————————–
[1] Ensklopedi Indonesia (Bandung: PT Van
Hoeve,tt)
[2] QS Ali Imran : 148
[3] QS Al Adiyat : 8
[4] QS Al Baqarah : 215
[5] QS Al Baqarah : 180
[6] QS Ah Thalaq : 2-3
[7] QS Al Kahfi : 46
[8] QS Al Baqarah : 155
[9] QS Al Anfal : 28.
[10] QS As Saba : 35-37
[11] “ Ketahuilah, sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS Al
Alaq : 6-7). Manusia di sini maksudnya adalah Abu Jahal.
[12] “ Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan
apa yang telah ia usahakan.” (QS Al Lahab : 1-2)
[13] “ Yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (QS
Al Humazah : 2-3) Yang dimaksud di sini adalah Abu Ibnu Khulf.
Sesungguhnya yang mendorong seseorang meremehkan orang lain karena
kesukaannya mengumpulkan harta benda dan menghitung hartanya. Ia berpendapat
bahwa tidak ada kemuliaan melainkan hanya dengan harta, derajat seseorang
dinilai dengan harta tanpa melihat amal shalih yang dilakukan. Mereka juga
memiliki rasa sombong, bahkan mereka meyakini bahwa harta benda dapat
menyelamatkannya dari kematian.
[14] “ Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang
yang Aku telah menciptakanya sendirian. Dan aku jadikan baginya harta benda
yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia, dan Kulapangkan baginya
(rezeki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya, kemudian dia ingin sekali
supaya Aku menambahkannya. Sekali-kali tidak (akan Aku tambah) karena
sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (Al Quran).” (QS Al Muddatstsir :
11-16)
[15] “ Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum
Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugrahkan
kepadanya berbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh
sejumlah orang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya bertanya kepadanya, ‘
Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang terlalu membanggakan diri.’ Dan carilah pada apa yang dianugrahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (QS Al Qashash : 76-77). Golongan orang ini menggambarkan
sosok Karun dengan type egois dan lupa akan teman yang hidup dalam kemiskinan.
[16] QS Al Kahfi : 46
[17] 41. Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan
merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(QS
At Taubah : 41)
[18] QS Adz Dzariyat : 56-58
[19] HR Muslim dari Abu Hurairah no. 2564.
[20] QS Al Muzammil : 20
[21] (QS Adz Dzariyat : 19
[22] (QS At Taubah : 103)
[23] “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
Padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah : 188)
[24] “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi.” (QS Al Muthaffifi : 1-3) Yang dimaksud dengan
orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan
menimbang.
[25] “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Baqarah : 278-279) Yang dimaksud Riba di
sini ialah Riba nasi’ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi’ah itu
selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah
dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang
sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[26] “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh” (QS Al Ahzab
: 72)
[27] Ensklopedi Indonesia (Bandung: PT Van
Hoeve,tt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar