Minggu, 24 Februari 2013

Konsep Harta Dalam Islam



Konsep Harta Dalam Islam
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86 kali. Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an menunjukkan adanya perhatian khusus dan penting terhadap sesuatu itu. Harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya terutama di dalam Islam.
Islam memandang keinginan manusia untuk memperoleh, memiliki, dan memanfaatkan harta sebagai sesuatu yang lazim, dan urgen. Harta diperoleh, dimiliki, dan dimanfaatkan manusia untuk memenuhi hajat hidupnya, baik bersifat materi maupun non materi. Manusia berusaha sesuai dengan naluri dan kecenderungan untuk mendapatkan harta.
Al-Qur’an memandang harta sebagai sarana bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Khaliq-Nya, bukan tujuan utama yang dicari dalam kehidupan. Dengan keberadaan harta, manusia diharapkan memiliki sikap derma yang memperkokoh sifat kemanusiannya. Jika sikap derma ini berkembang, maka akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia, baik di sisi Tuhan maupun terhadap sesam manusia.
Oleh karena itu, harta dalam perspektif Al-Qur’an sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam makalah ini baik dalam hubungannya kepada sang Khaliq, maupun harta yang bersifat materi maupun non materi.
B. PEMBAHASAN
  1.  
    1. 1. Konsep Harta
Harta di dalam bahasa Arab disebut al-mal atau jamaknya al-amwal (Munawir, 1984). Harta (al-mal) menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian (An-Nabhani, 1990). Di dalam Al Quran, kata al mal dengan berbagai bentuknya disebut 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat. Berdasarkan pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi)[1], seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.
Islam telah menggambarkan jalan yang suci dan lurus bagi umatnya guna memperoleh harta yang halal dan baik. Dibawah ini disebutkan beberapa cara meraih harta dalam islam:
  • Meraih harta secara langsung dari hasil keringatnya sendiri.
Inilah yang sering di puji oleh islam, yaitu meraih harta dengan jerih payah keringatnya sendiri selama hal itu berada pada koridor yang telah ditentukan oleh Allah dan ini merupakan cara meraih harta yang paling mulia dalam islam. Islam adalah satu-satunya agama samawi yang memuliakan pekerjaan bahkan memposisikan pekerjaan sebagai ibadah disisi-Nya. menjadikannya asas dari kebaikan didunia dan akhirat. Pada surat Al-Mulk ayat:15 Allah memerintahkan kita untuk berjalan di muka bumi guna meraih kehidupan:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah buat kamu,maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Mu. Dan hanya kepadaNya kamu kembali (setelah) dibangkitkan.”
Dalam surat Al-Muzammil ayat:20 Allah menjelaskan bahwa mencari kehidupan dengan cara bekerja setara kedudukannya dengan berjihad di jalan Allah:
“… dan orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;dan orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.”
  • Harta warisan
Dalam islam harta warisan adalah salah satu jalan yang diperbolehkan guna meraih harta kekayaan. Ini disebut meraih harta secara tidak langsung. Dalam artian si-penerima harta,tidaklah bersusah payah untuk mendapatkannya. Karena itu adalah peninggalan dari oarng yang meninggal (ayah atau keluarga dekatnya). Kepemilikan yaitu seseorang memiliki wewenangan untuk bertindak atas apa yang ia miliki. Tetapi ketika hubungan yang mengikat antara si-pemilik harta dengan harta yang ia miliki terputus disebabkan wafatnya si-pemilik, maka harus ada pemilik baru yang menggantikan wewenang kepemilikan harta yang ia miliki. Dan Islam menjadikan orang yang paling dekat hubungannya dengan si-mayit yang menerima wewenang dalam kepemilikan harta si-mayit. Ini sesuai dengan fitrah manusia. Dalam hal ini yang paling dekat adalah anak dan keluarga terdekat.
  1. 2. Hakikat Hak Milik
  • Allah adalah Pencipta dan Pemilik Harta yang Hakiki
Di dalam ayat-ayat Al-Quran, Allah Swt kadang-kadang menisbatkan dalam ayat-ayat Al-Quran kepemilikan harta itu langsung kepada Allah Swt.
“Dan berikanlah kepada mereka, sebagian harta Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.” (QS Al-Nur:33)
Allah Swt langsung menisbatkan (menyandarkan) harta kepada diri-Nya yang berarti harta milik Allah. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata ‘min malillah’, yang bermakna Allah merupakan pemilik mutlak atas seluruh harta yang ada di dunia.
  • Harta adalah fasilitas bagi Kehidupan Manusia
Allah adalah pemilik mutlak harta yang kemudian menganugrahkannya kepada umat manusia. Penganugrahan dari Allah ini dalam rangka memberikan fasilitas bagi kelangsungan kehidupan manusia. Allah memberikan segalanya kepada manusia termasuk harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Seperti firman Allah:
“Dialah (Allah) yang telah menciptakan apa saja yang ada di muka bumi buat kalian semuanya”. (QS Al Baqarah: 29)
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”. (QS Al Hadid:7)
Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan oleh manusia yang bukan secara mutlak hak milik karena pada hakikatnya pemilik sebenarnya ada pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah, oleh karena itu manusia tidaklah boleh kikir dan boros. Allah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengusahakan, memanfaatkan dan melestarikan harta yang ada di bumi dengan bijak serta memerintahkan manusia untuk senantiasa berupaya mencari harta agar dapat memilikinya.
  • Allah Menganugrahkan Kepemilikan Harta kepada Manusia.
Allah memberi manusia sebagian dari harta-Nya setelah manusia tersebut berupaya mencari kekayaan, maka jadilah manusia disebut “mempunyai” harta. Hal ini tampak dalam Al Quran yang menyebutkan harta sebagai milik manusia:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah : 188)
Dalam ayat di atas memberikan pengertian bahwa harta ketika dikaitkan dengan manusia berarti dimiliki oleh manusia sebatas hidup di dunia, dan itu pun bila diperoleh dengan cara yang legal menurut syariah Islam.
Pelapangan rezeki yang diberikan Allah tidak berkaitan dengan keimanan serta kekufuran seseorang, seperti firman Allah:
Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS Ar Ra’d : 26)
Dalam ayat ini, Allah melapangkan rezeki bagi sebagian hambaNya dan menyempitkan bagi sebagian yang lain, sesuai dengan tuntutan kebijaksanaanNya. Pelapangan dan penyempitan rezeki ini tidak berkaitan dengan keimanan dan kekufuran. Barangkali Allah melapangkan bagi orang kafir dengan maksud memperdayakan dan menyempitkan orang Mu’min dengan maksud menambah pahalanya.
Allah melapangkan rezeki bagi siapa pun yang Dia kehendaki di antara para hambaNya yang pandai mengumpulkan harta dan mempunyai kemudahan dalam mendapatkan harta dimana hal ini tidak berhubungan dengan keimanan dan kekufuran seseorang. Pada hakikatnya, kenikmatan dunia jika dibandingkan dengan kenikmatan akhirat hanyalah sedikit dan akan cepat hilang. Oleh sebab itu, mereka yang berharta di dunia tidak berhak untuk membanggakan dan menyombongkan bagian dari dunia yang diberikan Allah kepada mereka.
  1. 3. Sikap Islam terhadap harta.
Dalam memandang dunia, Islam selalu bersikap tengah-tangah dan seimbang. Islam tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang menganggap dunia adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan, yaitu dengan menolak kawin dan melahirkan keturunan, berpaling dari kesenangan kenikmatan dunia dari hal makanan, minuman, pakaian, perhiasan, dan kesenangan- kesenangan lainnya serta menolak kerja keras untuk kepentingan duniawi.
Dunia adalah jalan menuju tempat yang lebih kekal. Karena dunia ini merupakan jalan, maka ia dibuat sedemikian rupa agar manusia yang melewatinya merasa aman dan sampai ke tujuan dengan selamat. Misalnya, kita dapat melihat ungkapan Al- Quran tentang umat Islam yang hidup moderat : ” Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala di akhirat”[2]
Dalam hadist dijelaskan “ Ketika datang seorang lelaki kepada Rasulullah ia berkata, “ Ya Rasulullah, apa yang saya ucapkan tatkala meminta kepada Allah?” Nabi menjawab, “Katakanlah, “Ya Allah, ampunilah saya, selamatkan saya (dari penyakit dan malapetaka), karuniakan rizki bagiku.’ Sesungguhnya doa-doa ini menghimpun bagimu kebahagiaan dunia dan akhirat. Ta’awwudz merupakan ungkapan meminta perlindungan dari Allah, baik dunia dan akhirat. Dengan demikian, sikap jalan tengah merupakan prinsip dan syiar Islam, seperti para sahabat yang hidup berlimpah harta untuk kepentingan agama tanpa sedikitpun melupakan kehidupan dunia dan akhiratnya. Diantara sahabat merupakan pedagang sukses dan orang kaya seperti Ibnu Affan dan Ibnu Auf dan ada juga yang hidup sederhana dan zuhud seperti Abud Darda dan Salman.
  1. 4. Harta adalah Perhiasan Dunia.
Menurut Islam, harta adalah sarana untuk memperoleh kebaikan. Miskin bukanlah sebagai symbol manusia bertaqwa sebagaimana pandangan para penganut sufisme. Harta dalam konteks Al-Quran adalah suatu kebaikan (khairun).
ü   “ Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada khairun (kebaikan).”[3] Pencinta kebaikan di sini meksudnya pencinta harta. Ayat ini menerangklan bahwa cinta akan harta adalah tabiat manusia.
ü   “ Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawaban, ‘Apa saja khairun (harta) yang kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu, bapak, kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang  dalam perjalanan …”[4]
ü   “ Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan khairun (harta) yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf …[5]
Pada ayat lainnya, Allah berfirman “ … Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangknya … ”[6]
Maka harta menurut Islam adalah perhiasan kehidupan dunia dan pengokohannya seperti pilar.
Firman Allah : “ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalam-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”[7]
Dalam ayat ini, dengan harta tercapailah kemakmuran dunia dari segi materi dan dengan anak tercapai kemakmuran dunia dari segi kelangsungan hidup.
Allah mengaruniakan sebagian kekayaan dan kehidupan nyaman yang diperuntukkan bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa sebagai balasan atas amal saleh dan syukurnya. Sedangkan kehidupan yang sempit, kemiskinan dan kelaparan sebagai hukuman yang dipercepat Allah bagi mereka yang berpaling dari jalan Allah. Pentingnya harta menurut Islam tampak dari kenyataan bahwa Allah menurunkan surat yang berisikan peraturan tentang keuangan, cara penggunaannya, anjuran bermualah dengan cara menuliskannya dan perlunya dua orang saksi.
  1. 5. Harta merupakan sesuatu yang dibanggakan
Harta merupakan sesuatu yang dibanggakan oleh manusia, namun Al Quran memandang orang yang membanggakan harta sebagai orang yang sombong dan tidak terhormat.
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al Isra :31)
Dalam ayat di atas, kebanggaan manusia terhadap harta, disejajarkan dengan kebanggaannya terhadap anak dan keturunan. Hal ini terjadi karena harta yang diupayakan, dan di saat seseorang gagal dalam mendapatkan harta terkadang dengan sikap frustasi seseorang dapat berbuat dosa dengan melampiaskan kemiskinan dengan membunuh anaknya. Tindakan ini dikecam Allah karena manusia tidak percaya bahwa sebenarnya kehidupan telah dijamin oleh Allah.
  1. 6. Harta sebagai Ujian dan Cobaan
Harta bukan sebagai ukuran untuk menilai seseorang. Mulia atau hinanya seseorang tidak dinilai dari harta yang dimilikinya. Harta hanyalah kenikmatan dari Allah sebagai fitnah atau ujian untuk hambaNya apakah dengan harta tersebut mereka akan bersyukur atau akan menjadi kufur.
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”[8]
Allah menguji seseorang dengan perasaan takut terhadap musuh, musibah, kelaparan dan kekurangan, serta kekurangan harta. Dalam ayat ini memberi pengertian bahwa iman tidak menjamin seseorang untuk mendapatkan rizki yang banyak, kekuasaan dan tidak ada rasa takut. Bagi seseorang yang mempunyai kesempurnan iman maka tiap musibah akan semakin membersihkan jiwanya.
Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah lah pahala yang besar.”[9]
Harta merupakan poros penghidupan seseorang dan sebagai sarana untuk mencapai segala keinginan dan hasrat duniawi. Untuk mendapatkan harta manusia rela menanggung kesusahan dan kesulitan, namun hukum syara menhgaruskan\ manusia untuk mencari harta halal dan mendorong manusia untuk berhemat. Begitupula untuk memelihara harta, mereka bersedia susah payah namun hawa nafsunya saling bertempur dengan hati nuraninya sendiri dimana syariat mewajibkan penyisihan atas harta dimana ada hak-hak tertentu yang harus dikeluarkan untuk zakat, nafkah lainnya, baik untuk anak dan istri, dll.
Sedangakan cinta kepada anak sering membawa orang sanggup melakukan dosa dan perbuatan jahat demi dapat membiayai mereka, menjadi kikir untuk berzakat, dan jika terjadi kesedihan atas anak mereka maka mereka membenci Tuhan atau mementangnya. Fitnah yang ditimbulkan oleh anak lebih besar dari pada yang ditimbulkan oleh harta, sehingga mereka mau saja mencari harta haram dan mengambil harta orang lain secara batil demi anak.
Maka dalam ayat ini, seorang mukmin seharusnya dapat memelihara diri dari kedua fitnah, yaitu pertama mendapatkan harta halal dan menafkahkan pada jalan kebaikan. Dan juga menjaga fitnah anak dengan mendidik mereka dengan sebaik-baiknya dan melatih mereka melaksanakan perintah agam.
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipatganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).”[10]
Dalam ayat di atas Al Quran mengingatkan manusia bahwa harta dan anak yang dibanggakan tidak menjamin dapat menyelamatkan dirinya dari siksaan Tuhan. Terkadang manusia sifat kebanggaan yang berlebihan tersebut dapat menjadikan sikap kikir serta mengumpulkan harta dengan sangat perhitungan dan menjadikan kecintaan terhadap harta membabi buta. Akhirnya dengan pandangan bahwa harta dapat membawa kesentosaan hidup maka nereka beranggapan harta adalah segalanya dalam hidup. Dalam Al Quran tersirat bahwa hak pemilikan manusia terhadap harta, hanya berfungsi untuk menunjukkan “pemilik” dan “penanggung jawabnya”. Adapun fungsi harta dalam pendistribusian sesuai dengan syariat adalah nilai yang patut diupayakan oleh pemilik harta.
Contohnya seperti golongan orang kaya dan angkuh dengan hartanya dan tidak mau mengakui kerasulan Nabi Muhammad sedangkan mereka tahu, misalnya Abu Jahal Ibnu Hisyam[11], Abu Lahab [12], Abu Ibnu Khalaf [13], Walid Ibnu Mughairah [14] dan juga Karun[15].
  1. 7. Harta sebagai Penyangga Stabilitas Sosial
Harta merupakan salah satu dari beberapa kekuatan suatu bangsa dan penopang kebangkitan dan kemajuan. Namun, harta bisa membahayakan suatu bangsa dan rakyatnya, juga membahayakan etika spiritual mereka, jika mereka menjadikannya suatu prioritas dalam hidup ini. Islam mengajarkan kepada pengikutnya bahwa harta bukan segala-galanya dalam kehidupan ini, namun ironisnya kebanyakan manusia sangat berambisi dan memusatkan seluruh perhatiannya untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan sesuatu yang lebih besar yaitu kehidupan di akhirat.
Sesungguhnya etika yang mulia dan norma yang tinggi dari iman, amal saleh dan akhlak mulia. Itulah kekayaan yang tidak pernah habis dan pusaka-pusaka yang tidak akan sirna.oleh sebab itu Al Quran mengarahkan ambisi dan angan-angan orang-orang mukmin kepadanya seperti firman Allah:
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” [16]
  1. 8. Ekonomi yang Baik Sarana Mencapai Tujuan yang Lebih Besar
Islam tidak melupakan unsur materi dan eksistensinya dalam memakmurkan bumi dan meningkatkan taraf hidup manusia. Namun, Islam selalu menekankan bahwa kehidupan berekonomi yang baik  walaupun itu merupakan target yang perlu dicapai dalam kehidupan dan bukanlah tujuan akhir. Peran harta dianggap sangat penting seperti untuk berjihad[17] dengan memperjuangkan kemaslahatan yang diperintahkan Allah, harta menopang manusia upaya untuk bertahan dalam kondisi kehidupan yang wajar, dah harta dapat digunakan menjadi bagian penjagaan kehidupan (contonya dalam Al Quran memberikan alasan bahwa kekuasaan laki laki atas wanita di antaranya karena prestasinya dalam mencukupi kehidupan wanita), dll.
Manusia diciptakan bukan untuk menjalankan aktivitas ekonomi, tetapi ekonomi diciptakan untuk manusia. Manusia diciptakan untuk Allah, akal dan hatinya hanya terfokus kepadaNya, sehingga jadwal kehidupannya harus diatur sesuai dengan keridhaan Allah. Inilah arti ibadah yang dijadikan Allah sebagai kewajiban manusia.
“ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya  mereka member Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” [18]
  1. 9. Manusia Mulia Bukan Karena Harta Tetapi Karena Amalan-amalannya
Seperti yang diuraikan di atas, manusia tidak mulia karena harta dan kekayaannya atau kedudukannya tetapi karena hatinya bertaqwa kepada Allah dan takut kepada Nya. Ia ikhlas berbuat meskipun tidak memiliki apa-apa dan berpakaian compang-camping.
Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk luar tetapi Allah melihat pada hati manusia.”[19]
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [20]
Dalam surat ini diketahui bahwa cirri-ciri orang yang berbahagia adalah yang dapat menjalankan muamalah dengan Allah secara baik, dan muamalah mereka dengan sesama makhluk. Allah dalam surat ini juga memberikan keringanan kepada umatnya dari kesukaran menuju kemudahan, dimana Allah meminta kepada manusia agar mengerjakan shalat malam dengan waktu sepertiga malam sesuai yang dapat kamu kerjakan (karena manusia tidak sanggup menentukan waktu secara pasti). Sehingga dengan keringanan yang diberikan, manusia dapat mengerjakan shalat yang difardhukan sehingga hati mereka tidak lalai dan perbuatan mereka tidak keluar dari apa yang ditentukan agama. Serta tunaikan zakat yang wajib, dan memberikan pinjaman yang baik kepada Allah dengan jalan menafkahkan harta di jalan kebaikan, untuk tiap individu dan golongan, sehingga dapat membawa manfaat bagi  mereka dalam kemajuan peradaban dan sosial. Dan jaminan terhadap apa yang manusia kerjakan di dunia, merupakan sedekah atau nafkah yang kamu belanjakan di jalan Allah (seperti shalat, puasa, haji, dll)  akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Sehingga menusia yang mulia adalah manusia yang dapat membelanjakan hartanya di jalan Allah dan beribadah sesuai yang diperintahkan Allah (amal-amalnya).
10. Pengharaman Menimbun Harta
Islam mengharamkan seseorang menimbun harta, Islam mengancam mereka yang menimbuh dengan siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat. Ancaman-ancaman itu tertera dalam nash-nash yang tegas dalam Al Quran, dalam firmanNya:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”  ( QS At Taubah : 34-35)
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya, dan menjauhkannya dari peredaran. Penimbunan harta menimbulkan bahaya besar terhadap perekonomian dan terhadap moral. Bahaya dari penimbunan ini dapat menimbulkan hilangnya kesempatan kerja (identik dengan menimbulkan pengangguran), dapat mengurangi pendapatan yang akhirnya akan mengurangi daya beli masyarakat, produksi dan permintaan menjadi menurun, dan akhirnya dapat menciptakan penurunan ekonomi dalam masyarakat.
11. Zakat Harta
Setelah Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang bertaqwa itu mendirikan sholat, maka dilanjutkan dengan menceritakan bahwa manusia harus menunaikan zakat dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir. Seperti dalam firmanNya:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”[21]
Di antara mereka ada sebagian ada sebagian yang harus dipisahkan oleh mereka yang dikhususkan untuk orang yang melarat meminta, atau orang yang menahan diri dari meminta-minta, yang tidak memperoleh sesuatu yang membuatnya tidak berhajat, namun tidak meminta kepada orang lain (disebut orang yang mahrum atau tudak kebagian) dan tidak suka berbuat seperti itu supaya diberi sedekah. Orang miskin yang tidak mendapat bagian maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”[22]
Allah memerintahkan Rasul untuk mengambil harta orang-orang yang tidak ikut perang, kaum mu’min yang kaya dan orang mu’min lainnya. Zakat ini dimaksudkan untuk membersihkan manusia dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda dan tamak dan dapat mensucikan  yaitu menanamkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka sehingga mereka patut mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan Rosul mendoakan bagi orang-orang yang mau bersedekah dengan memohonkan ampun mereka untuk ketenangan hati mereka dan Allah Maha Tahu taubat mereka serta keikhlasan mereka dalam menyerahkan sedekah tersebut.
12. Etika Terhadap Harta
  • Etika mencari harta
Kehidupan seorang muslim selalu dituntun untuk bekerja (etos gerak). Al Quran mendorong muslim untuk bergerak dan berbuat sesuatu yang baik secara aktif. Isalm yang dikonotasikan dengan “jalan”, memberikan gambaran bahwa ajarannya adalah ajaran dinamis, bergerak, dan berubah menuju kesempurnaan sesuai dengan yang divita-citakan. Orang Islam yang berjalan di atas jalan tersebut lazimnya bergerak, dinamis, aktif serta tidak diam (pasif) dalam suatu kondisi. Bagi orang yang mencari perubahan, Allah menjanjikan kemudahan dan keleluasaan sebagai apresiasi atas usaha yang dilakukan oleh manusia. Seperti pada QS An Nisa :100
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sehingga pada dasarnya Al Quran maupun al Sunah telah memberikan berbagai apresiasi untuk mendorong manusia agar berbuat dan berkreasi sesuai dengan profesi dan potensi masing-masing untuk mendapatkan harta secara halal serta mendistribusikan.
  • Etika mencari Harta
Anjuran dan suruhan Al Quran terhadap usaha dan pemenuhan tanggung jawab, bukan sedekar parintah bekerja yang hanya menghasilkan materi. Al Quran menghendaki agar kerja manusia diorientasikan pada nilai-nilai suci, bukan sekedar materi secara unsich. Nilai suci dari materi ditentukan oleh fungsi dan kegunaan untuk kemaslatan dalam memenuhi hajat hidup manusia. Al Quran memberikan orientasi melalui tata cara dalam mencari materi yang harus dipatuhi oleh manusia. Orientasi tersebut untuk memberikan keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan, maupun terhadap sesama manusia. Tata cara tersebut di antaranya adalah melarang manusia bertransaksi yang tidak legal baik dalam perspektif yuridis maupun etis[23], penyempurnaan timbangan atau takaran dalam transaksi[24], larangan bersistem raba[25], dan menekankan tanggung jawab.[26]
  1. C. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan, bahwa harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi)[27], seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia. Oleh karena itu, di dalam Islam terdapat etika di dalam memperoleh harta dengan bekerja. Dalam artian, terdapat keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan,.
DAFTAR PUSTAKA
-         Q ardhawi ,Yusuf, Norma dan Etika Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 1997.
-         Sholahuddin, Asas-Asas Ekonomi Islam, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
-         At-Thariqi, Abdullah Abdul Husain, Ekonomi Islam, Prinsip Dasar dan Tujuan, Magistra Insani Press, 2004.
-         Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir  al-Maraghi, Semarang : CV. Toha Putra.
-         Munir, Abdul, Harta Dalam Perspektif Al Quran, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006
———————————————–
[1] Ensklopedi Indonesia (Bandung: PT Van Hoeve,tt)
[2] QS Ali Imran : 148
[3] QS Al Adiyat : 8
[4] QS Al Baqarah : 215
[5] QS Al Baqarah : 180
[6] QS Ah Thalaq : 2-3
[7] QS  Al Kahfi : 46
[8] QS Al Baqarah : 155
[9] QS Al Anfal : 28.
[10] QS As Saba : 35-37
[11] “ Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS Al Alaq : 6-7). Manusia di sini maksudnya adalah Abu Jahal.
[12] “ Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang telah ia usahakan.” (QS Al Lahab : 1-2)
[13] “ Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (QS Al Humazah : 2-3) Yang dimaksud di sini adalah Abu Ibnu Khulf.  Sesungguhnya yang mendorong seseorang meremehkan orang lain karena kesukaannya mengumpulkan harta benda dan menghitung hartanya. Ia berpendapat bahwa tidak ada kemuliaan melainkan hanya dengan harta, derajat seseorang dinilai dengan harta tanpa melihat amal shalih yang dilakukan. Mereka juga memiliki rasa sombong, bahkan mereka meyakini bahwa harta benda dapat menyelamatkannya dari kematian.
[14] “ Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakanya sendirian. Dan aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia, dan Kulapangkan baginya (rezeki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya, kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahkannya. Sekali-kali tidak (akan Aku tambah) karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (Al Quran).” (QS Al Muddatstsir : 11-16)
[15] “ Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugrahkan kepadanya berbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya bertanya kepadanya, ‘ Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.’ Dan carilah pada apa yang dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al Qashash : 76-77). Golongan orang ini menggambarkan sosok Karun dengan type egois dan lupa akan teman yang hidup dalam kemiskinan.
[16] QS Al Kahfi : 46
[17] 41. Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(QS At Taubah : 41)
[18] QS Adz Dzariyat : 56-58
[19] HR Muslim dari Abu Hurairah no. 2564.
[20] QS Al Muzammil : 20
[21] (QS Adz Dzariyat : 19
[22] (QS At Taubah : 103)
[23] “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah : 188)
[24] “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS Al Muthaffifi : 1-3) Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang.
[25] “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Baqarah : 278-279) Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi’ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[26] “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh” (QS Al Ahzab : 72)
[27] Ensklopedi Indonesia (Bandung: PT Van Hoeve,tt)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar