A.
Alasan
al-Qur’an di turunkan secara bertahap
Pertanyaan “mengapa teks al-Qur’an di
turunkan secara bertahap?” merupakan suatu pertanyaan yang wajar. Pertanyaan ini bukan
hanya ditanyakan oleh masyarakat zaman sekarang, melainjkan orang-orang
musyrik Makah pada masa Rosulullah SAW sebagai bentuk penolakan mereka terhadap
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW.pertanyaan ini
muncul dari kalangan kaum musyrik
karena mereka memiliki konsep mengenai kitab-kitab
sebelumnya yang diturunkan kepada para nabi Yahudi,bahwa kitab-kitab tersebut
diturunkan lengjkap dan terbukukan,sebagaimana diturunkanya “lauh/papan” kepada
Musa. Oleh
karena itu, mereka
menolak model penurunan Al-Qur’an secara bertahap merupakan semacam sikap
meragukan sumber (munculnya) teks. Hal ini telah di
sebutkan dalam Al-Qur’an,dalam surat al-Furqan ayat 23 yang kurang lebih
artinya sebgai berikut : “dan orang-orang
kafir itu berkata :
Mengapa
Al-Qur’an tidak diturunkan
kepadanya secara serempak.
Demikian
itu kami lakukan untuk mementapkan hati kami”.
Kata “pemantapan hati” yang disinggung dalam ayat diatas tentunya
mengindikasikan bahwa kondisi “penerima pertama” ikut dipertimbangkan, sebab proses komunikasi
wahyu sangat sulit baginya,
minimal
pada awal masa proses tersebut. Selain
itu, budaya
juga berperan penting dalam hal ini,
berhubung
pada saat itu yang berlaku adalah tradisi lisan, sehingga tidak masuk akal jika teks
sepanjang itu diturunkan secara
sekaligus. Dari sini bisa kita mengambil kesimpulan bahwa mempertimbangkan
kondisi penerima
pertama bukanlah semata-mata mempertimbangkan faktor pribadi, melainkan
mempertimbangkan kepentingamn umum,
di
mana penerima pertama sejajar dengan masyarakat yang menjadi sasaran teks. Akan tetapi, para ulama tidak meyadari
aspek ini sebagai salah satu faktor kenapa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, yang mereka tangkap
sebagai alasanya adalah hanya mempertimbangkan posisi penerima pertama, mempertimbangkan
kondisinya, dan
menguatkan hati dan jiwanya.
“sebab, apabila al-qur’an
diturunkan dalam setiap peristiwa,
ini
akan lebih memantapkan hati dan lebih memberikan perhatian terhadap rasul. Dan ini mengharuskan
malaikat lebih sering turun kepadanya dan memperbarui pertemuan dengannya
dengan membawa misi dari sisi Yang Maha Mulia. Dari sini, munculah kegembiraan yang
tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.” Mereka
juga menyadari bahwa tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat ini
mempengaruhi kenapa al-Qur’an
duturunkan secara
bertahap, meskipun
mereka hanya membatasinya dalam
bingkai kepribadian rasul saja:
“Oleh karena Rosulullah adalah seorang
ummi,tidak dapat baca dan tuis,maka wahyu diturunkan secara bertahap kepadanya
agar mudah baginya untuk m,enghafal.Ini berb4eda dari nabi-nabi yang lain,sebab
mereka dapat menulis dan membaca sehingga dim,ungkinkan bagi mereka untuk
menghafalkan semuanya apabila dituruinkan sekaligus.”
Jika teks, dalam pandangan ulama
Al-Qur’an, merespons
kondisi rasul-penerima pertama wahyu, dan dia hanya sekedar perantara “yang menyampaikan”
wahyu saja, sebagaimana
yang telah disinggung. Maka
tidak dapat disangsikan apabila respons teks terhadap kondisi masyarakat yang menjadi sasaran teks
dijidikan sebagai landasan.
Memisahkan penerima
pertama dari masyarakat yang menjai sasaran utama teks, bagaimanapun juga tidak dapat dibenarkan. Teks ini memberikan
respons terhadap realitas kultural yang memiliki kondisi-kondisi objektifnya
sendiri, dan
yang terpenting adalah tradisi kelisanan itu.
Dari keterangan diatas, muncul pertanyaan dalam
hati dari sudut pandang agama
: “mengapa harus mempertimbangkan realitas dan sebab menurunkan al-Qur’an secara bertahap, padahal
Allah SWT mengetahui sluruh realitas,
baik yang secara global maupn detilnya, sebelum realitas itu
terjadi? bukanakah
masih dalam jangkauan Allah untuk menurunkan Al-Qur’an sekaligus, bukankah Ia mampu
menjadikan Muhammad menghafalnya sekaligus?.”
Jawaban yang diberikan adalah : ”tidaklah semua yang
mungkin terjadi itu harus terjadi.
Dan didalam al-Qur’an sendiri terdapat
banyak jawaban mengenai berbagai pertanyaan. Inilah yang menjadi
salah satu sebab mengapa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap. Sebab lain adalah karena sebagian ada yang me-naskh dan sebagian
ada yang di-naskh. Alasan-alasan
inilah yang tidak memungkinkan untuk diturunkan kecuali dengan cara bertahap.”
B. Kisah-kisah Asbabun Nuzul
Banyak
hikmah dan kisah yang terkandung dalam asbabun nuzul, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui
hikmah atau alasan dari
turunnya suatu syariat atau hukum.
2. Takhsis
(pengkhususan) suatu hukum,
bagi
orang-orang berpendapat bahwasannya “Al-ibratu
bikhususi as-sababi”, yaitu pelajaran (teladan) itu
berdasarkan pada kekhususan suatu sebab.
3. Kita
bisa memahami makna suatu ayat secara lebih mendalam, dengan hilanglah kemsuykilan (keragu-raguan) yang selama ini
masih menghantui kita.
Al-Wahidy
rahimahullah
berkata : Kita tidak mungkin
mengetahui tafsir suatu ayat,
tanpa
mengetahui kisah yang melatarbelakanginya
dan penjelasan turunnya ayat tersebut.
Ibnu
Daqiqil Ied rahimahullah berkata : mengetahui penjelasan
tentang sebab turunnya sebuah ayat adalah cara terbaik dalam memahami
makna-makna Al-Qur’an.
Dan
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata : mengetahui sebab turunnya suatu ayat, sangat
membantu kita untuk memahami ayat tersebut. Karena dengan mengetahui sebab dari
turunnya ayat, bisa membuat kita lebih cepat memahami musababnya.
Diantara
contoh dan misal yang membuat kita lebih cepat memahami makna suatu ayat, saat
mengetahui sebab turunnya adalah kisah-kisah dibawah ini :
Pertama : pernah pada suatu ketika
Marwan bin Al-Hakam menafsirkan ayat secara salah, yaitu saat ia membaca ayat
ini :
Artinya : “janganlah
sekali-kali kamu menyngka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah
mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum
mereka kerjakan janganlah kamu menyangka
bahwa mereka terlepas dari siksa yang pedih.”(Qs. Ali Imran ayat 188)
Ia berkata : jika setiap orang yang senang dengan rizqi yang diberikan
kepadanya , dan juga senang dipuji dengan sesuatu yang belum dikerjakannya
bakal tertimpa adzab, pastilah kita semua akan ditimpa adzab pula,. Karena kita
semua sangat senang dengan yang diberikan kepeda kita, juga sangat senang
dipuji dengan hal yang mkita kerjakan.
Marwan
bin Al-Hakam tetap menafsirkan ayat tersebut denhgan penafsirannya sendiri,
sampai datanglah Ibnu Abbas yang menjelaskan kepadanya bahwa ayat tadi
diturunkan berkaitan dengan ahli kitab. Yaitu saat Rasulullah bertanya kepada
mereka tentang suatu hal. Tetapi mereka menutup-nutupi hal itu dan menjawab
pertanyaan tadi dengan jawaban yang lain. Seakan –akan jawaban bohong itulah
yang benar, dan mereka pun senang dipuji dengan jawaban bohong mereka ini. maka
turunlah aayat tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan.
Kedua : ada yang mengisahkan bahwa Utsman bin Madl’un
dan Amru bin Ma’dy karib, keduanya pernah berkata bahwa khamr adalah mubah
(diperbolehkan). Mereka mrengatakan demikian karena berdalih ayat ini :
Artinya : tidak ada
dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena
makanan-makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta
beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga)bertakwa dan berbuat
kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Al-Maidah ayat 93)
Tapi
jika mereka tahu sebab diturunkannya ayat diatas, mereka tidak akan mengatakan
bahwa khamr adalah mubah, karena ayt ini diturunkan sebagaia jawaban atas
pertanyaan para sahabat yang bertanya dalam hati mereka saat keharaman khamr
ditrurunkan : “ bagaimana dengan orang-orang yang telah terbunuh dijalan Allah
atau telah meninggal, padahal mereka dulunya sewaktu masih hidup selalu minum
khamr yang kotor itu ?”. maka turunlah ayat diatas. Hal ini berdasarkan hadis
riwayat imam Ahmad, An-Nasa’i, dan lainnya.
Wallahu a’lamu bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar