Minggu, 24 Februari 2013

Alasa Al-Qur'an diturunkan secara bertahap




A.    Alasan al-Qur’an di turunkan secara bertahap
            Pertanyaan “mengapa teks al-Qur’an di turunkan secara bertahap?” merupakan suatu pertanyaan yang wajar. Pertanyaan ini bukan hanya ditanyakan oleh masyarakat zaman sekarang, melainjkan orang-orang musyrik Makah pada masa Rosulullah SAW sebagai bentuk penolakan mereka terhadap Al-Qur’an sebagai kitab suci dan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW.pertanyaan ini muncul dari kalangan kaum musyrik karena mereka memiliki konsep mengenai kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan kepada para nabi Yahudi,bahwa kitab-kitab tersebut diturunkan lengjkap dan terbukukan,sebagaimana diturunkanya “lauh/papan” kepada Musa. Oleh karena itu, mereka menolak model penurunan Al-Qur’an secara bertahap merupakan semacam sikap meragukan  sumber (munculnya) teks. Hal ini telah di sebutkan dalam Al-Qur’an,dalam surat al-Furqan ayat 23 yang kurang lebih artinya sebgai berikut : “dan orang-orang kafir itu berkata : Mengapa Al-Qur’an tidak  diturunkan kepadanya  secara serempak. Demikian itu kami lakukan untuk mementapkan hati kami”.
             Kata “pemantapan hati” yang disinggung dalam ayat diatas tentunya mengindikasikan bahwa kondisi “penerima pertama ikut dipertimbangkan, sebab proses komunikasi wahyu sangat sulit baginya, minimal pada awal masa proses tersebut. Selain itu, budaya juga berperan penting dalam hal ini, berhubung pada saat itu yang berlaku adalah tradisi lisan, sehingga tidak masuk akal jika teks sepanjang itu diturunkan secara sekaligus. Dari sini bisa kita mengambil kesimpulan bahwa mempertimbangkan kondisi penerima pertama bukanlah semata-mata mempertimbangkan faktor pribadi, melainkan mempertimbangkan kepentingamn umum, di mana penerima pertama sejajar dengan masyarakat yang menjadi sasaran teks. Akan tetapi, para ulama tidak meyadari aspek ini sebagai salah satu faktor kenapa Al-Quran diturunkan secara bertahap, yang mereka tangkap sebagai alasanya adalah hanya mempertimbangkan posisi penerima pertama, mempertimbangkan kondisinya, dan menguatkan hati dan jiwanya.
            “sebab, apabila al-qur’an diturunkan dalam setiap peristiwa, ini akan lebih memantapkan hati dan lebih memberikan perhatian terhadap rasul. Dan ini mengharuskan malaikat lebih sering turun kepadanya dan memperbarui pertemuan dengannya dengan membawa misi dari sisi Yang Maha Mulia. Dari sini, munculah kegembiraan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.”             Mereka juga menyadari bahwa tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat ini mempengaruhi kenapa al-Qur’an duturunkan secara bertahap, meskipun mereka hanya membatasinya dalam bingkai kepribadian rasul saja:
   “Oleh karena Rosulullah adalah seorang ummi,tidak dapat baca dan tuis,maka wahyu diturunkan secara bertahap kepadanya agar mudah baginya untuk m,enghafal.Ini berb4eda dari nabi-nabi yang lain,sebab mereka dapat menulis dan membaca sehingga dim,ungkinkan bagi mereka untuk menghafalkan semuanya apabila dituruinkan sekaligus.”
         Jika teks, dalam pandangan ulama Al-Qur’an, merespons kondisi rasul-penerima pertama wahyu, dan dia hanya sekedar perantara “yang menyampaikan” wahyu saja, sebagaimana yang telah disinggung. Maka tidak dapat disangsikan apabila respons teks terhadap kondisi masyarakat yang menjadi sasaran teks dijidikan sebagai landasan. Memisahkan penerima pertama dari masyarakat yang menjai sasaran utama teks, bagaimanapun juga tidak dapat dibenarkan. Teks ini memberikan respons terhadap realitas kultural yang memiliki kondisi-kondisi objektifnya sendiri, dan yang terpenting adalah tradisi kelisanan itu.
         Dari keterangan diatas, muncul pertanyaan dalam hati dari sudut pandang agama :mengapa  harus mempertimbangkan realitas  dan sebab menurunkan al-Qur’an secara bertahap,  padahal Allah SWT mengetahui sluruh realitas, baik yang secara global maupn detilnya, sebelum realitas itu terjadi? bukanakah masih dalam jangkauan Allah untuk menurunkan Al-Qur’an sekaligus, bukankah Ia mampu menjadikan Muhammad menghafalnya sekaligus?.”
         Jawaban yang diberikan adalah :tidaklah semua yang mungkin terjadi itu harus terjadi. Dan didalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak jawaban mengenai berbagai pertanyaan. Inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap. Sebab lain adalah  karena sebagian ada yang me-naskh dan sebagian ada yang di-naskh. Alasan-alasan inilah yang tidak memungkinkan untuk diturunkan kecuali dengan cara bertahap.”
B.     Kisah-kisah Asbabun Nuzul
            Banyak hikmah dan kisah yang terkandung dalam asbabun nuzul, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui hikmah atau alasan dari turunnya suatu syariat atau hukum.
2.      Takhsis (pengkhususan) suatu hukum, bagi orang-orang berpendapat  bahwasannya “Al-ibratu bikhususi as-sababi”, yaitu pelajaran (teladan) itu berdasarkan pada kekhususan suatu sebab.
3.      Kita bisa memahami makna suatu ayat secara lebih mendalam, dengan hilanglah kemsuykilan (keragu-raguan) yang selama ini masih menghantui kita.
            Al-Wahidy rahimahullah berkata : Kita tidak mungkin mengetahui tafsir suatu ayat, tanpa mengetahui kisah yang  melatarbelakanginya dan penjelasan turunnya ayat tersebut.
            Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah berkata : mengetahui penjelasan tentang sebab turunnya sebuah ayat adalah cara terbaik dalam memahami makna-makna Al-Qur’an.
            Dan Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : mengetahui sebab turunnya suatu ayat, sangat membantu kita untuk memahami ayat tersebut. Karena dengan mengetahui sebab dari turunnya ayat, bisa membuat kita lebih cepat memahami musababnya.
            Diantara contoh dan misal yang membuat kita lebih cepat memahami makna suatu ayat, saat mengetahui sebab turunnya adalah kisah-kisah dibawah ini :
            Pertama : pernah pada suatu ketika Marwan bin Al-Hakam menafsirkan ayat secara salah, yaitu saat ia membaca ayat ini :

Artinya : “janganlah sekali-kali kamu menyngka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka  bahwa mereka terlepas dari siksa yang pedih.”(Qs. Ali Imran ayat 188) 
            Ia berkata : jika setiap orang yang senang dengan rizqi yang diberikan kepadanya , dan juga senang dipuji dengan sesuatu yang belum dikerjakannya bakal tertimpa adzab, pastilah kita semua akan ditimpa adzab pula,. Karena kita semua sangat senang dengan yang diberikan kepeda kita, juga sangat senang dipuji dengan hal yang mkita kerjakan.
            Marwan bin Al-Hakam tetap menafsirkan ayat tersebut denhgan penafsirannya sendiri, sampai datanglah Ibnu Abbas yang menjelaskan kepadanya bahwa ayat tadi diturunkan berkaitan dengan ahli kitab. Yaitu saat Rasulullah bertanya kepada mereka tentang suatu hal. Tetapi mereka menutup-nutupi hal itu dan menjawab pertanyaan tadi dengan jawaban yang lain. Seakan –akan jawaban bohong itulah yang benar, dan mereka pun senang dipuji dengan jawaban bohong mereka ini. maka turunlah aayat tersebut. Sebagaimana diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan.
            Kedua :  ada yang mengisahkan bahwa Utsman bin Madl’un dan Amru bin Ma’dy karib, keduanya pernah berkata bahwa khamr adalah mubah (diperbolehkan). Mereka mrengatakan demikian karena berdalih ayat ini :


            Artinya : tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena makanan-makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga)bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Al-Maidah ayat 93)
            Tapi jika mereka tahu sebab diturunkannya ayat diatas, mereka tidak akan mengatakan bahwa khamr adalah mubah, karena ayt ini diturunkan sebagaia jawaban atas pertanyaan para sahabat yang bertanya dalam hati mereka saat keharaman khamr ditrurunkan : “ bagaimana dengan orang-orang yang telah terbunuh dijalan Allah atau telah meninggal, padahal mereka dulunya sewaktu masih hidup selalu minum khamr yang kotor itu ?”. maka turunlah ayat diatas. Hal ini berdasarkan hadis riwayat imam Ahmad, An-Nasa’i, dan lainnya.
Wallahu a’lamu bisshawab.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar